Bisakah Mesin Pencari Tahu Kalau Konten Dibuat Menggunakan Kecerdasan Buatan (AI)?

Ahyari.Net – Yuk, kita bahas soal konten yang dibikin sama AI di mesin pencari dan gimana Google bisa menghadapinya. Tulisan ini muncul karena kepikiran konten saya di Facebook yang tiba-tiba banyak yang share lagi. Padahal diposting berbulan-bulan lalu, sekarang tiba-tiba banyak lagi engagement-nya. Yup, postingan itu tentang bagaimana AI membantu membuat konten yang SEO Friendly. Membantu ya, bukan diserahkan semuanya ke AI.

Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah berdampak signifikan terhadap industri digital marketing (pemasaran digital), terutama bagi para praktisi yang bertanggung jawab dalam mengelola strategi optimisasi mesin telusur (SEO). Fenomena ini dapat dipahami mengingat kompleksitas dalam pembuatan konten yang berkualitas tinggi, yang tidak hanya menantang secara kreatif, namun juga menguras anggaran secara substansial. Dengan pertimbangan tersebut, banyak pelaku pemasaran digital pun kini merasa tertarik untuk menjajaki potensi bantuan AI guna mengatasi permasalahan tersebut, meskipun respons yang dihasilkan ternyata cenderung bervariasi.

Walau banyak masalah etika, pertanyaan yang terus muncul adalah, “Bisa gak sih mesin pencari tahu kalo kontennya dibikin pakai AI?

Pertanyaan ini penting banget. Hal ini disebabkan oleh implikasinya yang luas; apabila jawaban atas pertanyaan ini adalah “tidak memungkinkan,” maka hal tersebut akan menimbulkan berbagai pertanyaan tambahan mengenai potensi pemanfaatan dan metodologi implementasi teknologi kecerdasan buatan.

Jejak Konten Buatan Mesin di Masa Lampau

Walaupun kini mesin kecerdasan buatan (AI) lebih sering digunakan sebagai alat bantu dalam pembuatan konten, perlu diingat bahwa konsep ini sebenarnya telah ada dalam jangka waktu yang sangat lama. Kehadirannya bukanlah hal baru dan tidak selalu merujuk pada dampak negatif.

Keterlibatan AI telah memiliki peran penting, terutama bagi platform berita daring yang memiliki kepentingan untuk menyajikan berita-berita terkini dengan cepat. Sudah sejak lama, mereka menggunakan data dari berbagai sumber, seperti data pasar saham dan alat pemantau gempa bumi, untuk menciptakan berita dengan kecepatan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, ketika berita tentang kejadian gempa bumi perlu disampaikan kepada masyarakat:

"Ada gempa dengan kekuatan [magnitudo] terdeteksi di [tempat, kota] pada [waktu]/[tanggal] pagi ini, gempa pertama semenjak [tanggal gempa terakhir]. Nanti ada berita lebih lanjut, ya."

Berita semacam ini juga memberikan manfaat besar bagi pembaca yang menginginkan informasi dengan segera, sehingga dengan dukungan “mesin,” perubahan yang terjadi hanya pada bagian yang di dalam kurung kotak saja [].

Tapi di sisi lain, ada juga banyak konten mesin “nakal” yang dibikin buat ngebohongin. Ingat dulu tentang AGC yang banyak dikeluhkan tak berujung? Meski bukan AI, ini juga buatan “mesin” (script khusus).

Instruksi yang telah lama dikeluarkan oleh Google menegaskan larangan penggunaan alat-alat untuk membuat teks dengan sembarangan atau menghasilkan konten yang tidak memiliki substansi. Namun, istilah “konten asal-asalan” ini seringkali menimbulkan keraguan dan kebingungan mengenai interpretasinya.

“Konten asal-asalan” bisa merujuk pada materi atau tulisan yang dihasilkan tanpa adanya pemikiran mendalam, riset yang memadai, atau pertimbangan kualitas. Ini termasuk konten yang dibuat dengan cara yang tidak profesional, tanpa mempertimbangkan nilai informasi yang disajikan kepada pembaca. Konten semacam ini mungkin kurang akurat, tidak relevan, atau bahkan mengandung informasi yang menyesatkan.

Kontribusi AI dalam Pembuatan Konten

Kemasyhuran konten yang dihasilkan oleh teknologi kecerdasan buatan (AI) sebagian besar dikenal berkat model bahasa generatif yang canggih seperti GPTx serta kehadiran chatbot AI seperti ChatGPT, yang memberikan dimensi baru dalam berinteraksi yang lebih menyenangkan.

Ada dua aspek penting yang perlu dipahami terkait dengan penggunaan alat-alat ini:

  1. Teks Berdasarkan Kemungkinan: Ketika Anda menuliskan kalimat, misalnya, “Jadi SEO itu seru karena…,” AI membaca dan menganalisis setiap kata, kemudian mencoba menebak kata-kata berikutnya berdasarkan pemahaman yang dimilikinya. Analoginya mirip dengan permainan menebak kata pada ponsel pintar, hanya dalam versi yang lebih canggih.
  2. ChatGPT sebagai Jenis AI Generatif: Artinya, hasil yang dihasilkan oleh ChatGPT bersifat tak terduga. Terdapat unsur keacakannya, sehingga responsnya mungkin berbeda meskipun pertanyaannya sama.

Namun, perlu ditegaskan bahwa pemahaman ini membantu menggambarkan bahwa ChatGPT atau model bahasa besar lainnya tidak memiliki pemahaman dalam arti konvensional. Kelemahan inilah yang menjadi dasar terjadinya kesalahan atau “halusinasi“.

Banyak contoh menunjukkan bagaimana pendekatan ini dapat menghasilkan jawaban yang salah dan membuat ChatGPT mengulang-ulang informasi yang tidak relevan. Hal ini mendorong banyak pihak untuk meragukan aspek “nilai tambah” dari teks yang dihasilkan oleh AI, terutama mengingat kemungkinan “halusinasi” yang sering muncul.

Penyebab utamanya adalah cara LLM (model bahasa besar) menghasilkan teks, yang tidak mudah diperbaiki tanpa adanya pendekatan baru. Hal ini memiliki implikasi penting, terutama dalam topik yang berkaitan dengan Uang dan Kehidupan Anda (YMYL), di mana kesalahan informasi dapat berdampak serius. Terbukti, bahkan media besar pernah terbukti menyebarkan informasi salah yang dihasilkan oleh AI, menunjukkan seriusnya masalah ini.

Masalah ini bukan hanya terbatas pada media saja, bahkan Google mengalami kesulitan dalam mengendalikan isi dari Pengalaman Generatif Pencarian (SGE) yang mengandung informasi penting tentang YMYL.

Meskipun Google berupaya untuk berhati-hati dalam menghasilkan jawaban, SGE masih sering menampilkan respons yang belum sepenuhnya tepat.

Pendekatan Baru Google

Google juga mempercayai bahwa konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) memiliki tempat yang signifikan dalam merespons pertanyaan dari pengguna. Sejak Mei 2021, Google telah memperkenalkan Model Gabungan Multitugas (MUM) sebagai langkah inovatif mereka.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh MUM adalah pengulangan pertanyaan yang sulit oleh pengguna. Pada awalnya, pengguna mungkin mendapatkan informasi tambahan dari respon awal yang mendorong mereka untuk bertanya lebih lanjut, bahkan menemukan halaman baru yang dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Google mempertimbangkan, “Bagaimana jika kami dapat menjawab semua pertanyaan pengguna dari hasil pencarian pertama?”

Meskipun langkah ini memberikan manfaat yang signifikan bagi pengguna, hal ini juga dapat mengubah strategi pengoptimalan kata kunci (SEO) yang biasanya digunakan oleh situs web untuk muncul dalam hasil pencarian. Potensialnya, Google dapat memilih pertanyaan yang cocok untuk dijawab oleh AI mereka, sehingga banyak pertanyaan akan langsung terjawab.

Namun, muncul pertanyaan lebih lanjut…

Mengapa Google masih menampilkan halaman situs web yang memiliki jawaban dari AI, ketika mereka memiliki kapabilitas untuk menjawab pertanyaan sendiri dan mempertahankan pengguna di dalam mesin pencari?

Ada alasan finansial yang mendasari keputusan ini dari pihak Google. Seiring waktu, Google telah berhasil mengimplementasikan berbagai metode, seperti featured snippet (Rank Zero) atau bahkan memungkinkan pengguna untuk mencari penerbangan dan hotel secara langsung melalui hasil pencarian.

Baca juga: Google Minimalisir Rich Results Howto dan FAQ

Apabila Google percaya bahwa konten yang dihasilkan oleh situs web tidak memberikan nilai tambah yang cukup dibandingkan dengan informasi yang telah mereka miliki, hal ini dapat menciptakan pertimbangan biaya dan manfaat bagi mesin pencari. Mereka mungkin merasa bahwa dengan menghasilkan jawaban sendiri dan membuat pengguna menunggu, mereka dapat menciptakan lebih banyak nilai dalam jangka panjang daripada menampilkan halaman situs web yang telah ada sebelumnya.

Cara Memeriksa Konten AI

Seiring popularitas ChatGPT dan teknologi kecerdasan buatan (AI) lainnya meroket, muncul pula berbagai alat untuk “memeriksa konten AI” yang hadir di berbagai platform. Alat-alat ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang sejauh mana konten tersebut dibuat menggunakan AI, biasanya dalam bentuk persentase.

Namun, sering kali terjadi kesalahpahaman dalam interpretasi hasil dari alat-alat ini, terutama dalam hal persentase yang ditampilkan. Misalnya, bila sebuah konten diberi label “77% AI / 23% Manusia,” banyak orang mungkin mengira bahwa 77% dari konten itu dihasilkan oleh AI dan 23% oleh manusia. Padahal, yang sebenarnya dimaksud adalah “aku yakin 77% bawah konten ini dihasilkan sepenuhnya oleh AI”.

Kesalahpahaman semacam ini sering kali memicu saran-saran tentang cara mengedit atau memodifikasi teks untuk ‘mengelabui’ tes AI. Contohnya, menambahkan tiga tanda seru (!!!) sebagai tanda ekspresi manusia yang bersemangat mungkin akan membuat alat tes AI memberikan nilai “99% lebih manusia” pada teks tersebut.

Namun, hal ini sebenarnya merupakan contoh efektivitas kerja alat tes AI yang bekerja dengan baik, karena memberikan hasil yang tidak sepenuhnya dihasilkan oleh AI. Sayangnya, kesimpulan yang keliru tentang kemampuan untuk ‘mengelabui’ tes AI seringkali diasosiasikan dengan mesin pencari seperti Google yang disebut-sebut tidak dapat mendeteksi konten AI. Akibatnya, pemilik situs web mungkin merasa lebih aman dari penalti Google, padahal realitanya tidak demikian.

Kebijakan dan Tindakan Google soal Konten AI

Pernyataan Google soal konten AI dari dulu sampai sekarang memang agak membingungkan, atau hal itu ditujukan agar mereka punya ruang untuk memperbaiki aturan yang ada? Tapi, tahun ini, mereka sudah lebih jelas Guideline-nya, yang kalau Google Search Central itu bisa berbicara, secara garis besar pasti akan mengatakan ini:

“Yang kita peduliin itu kualitas kontennya, bukan cara kontennya dibikin.”

Sebelum ini juga, Danny Sullivan dari Google Search Liaison sempat nge-tweet buat bilang mereka “belum pernah bilang konten AI itu jelek.”

Google juga sebut contoh spesifik soal gimana AI bisa bikin konten berguna, kayak skor olahraga, prakiraan cuaca, atau transkrip.

Jelas banget kalau Google lebih peduli soal hasil daripada proses membuat artikel atau kontennya, dan mereka menambahkan peraturan soal “konten yang dibuat cuma untuk peringkat di hasil pencarian itu pelanggaran kebijakan spam kami.”

Melawan manipulasi hasil pencarian sudah jadi rutinitas bagi Google, mereka bilang kalau sistem SpamBrain sudah membuat 99% pencarian jadi “bebas spam,” termasuk spam dari pengguna, scraping, atau semua cara untuk bikin konten asal-asalan.

Banyak orang sudah menguji coba bagaimana Google merespon konten AI dan sejauh mana mereka terima kualitasnya.

Setelah ChatGPT diluncurkan, aku pernah mencoba membuat website dengan ratusan halaman konten yang sebagian besar dibuat oleh AI dan tidak diawasi sama sekali, buat konten juga dari “People also ask”. Dengan sedikit link, situs ini langsung masuk indeks dan terus bertambah, dapat pengunjung lumayan setiap bulan.

Tetapi, ketika Google update sistemnya, situs yang ku bangun tadi perlahan mulai menurun dari hasil pencarian Google.

Lantas? Jangan juga mengira jika “konten AI tidak berguna” dari uji coba di atas.

Yang pasti, uji coba di atas ini menunjukan kalau saat itu, Google:

  • Tidak menyebut konten AI yang tidak diawasi sebagai “kualitas.”
  • Bisa ngerti dan menghapus (deindex) hasil pencarian seperti ini melalui sinyal-sinyal lain penentu peringkat.

Untuk Mendapatkan Jawaban yang Tepat, Diperlukan Pertanyaan yang Lebih Terarah

Menganalisis panduan yang dihadirkan oleh Google, serta memadukan pemahaman kita tentang sistem pencarian, eksperimen SEO, dan pertimbangan rasional, muncul pertanyaan mendasar: “Apakah mesin pencari memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi apakah suatu konten dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI)?” Meskipun terdengar sebagai pertanyaan yang dapat dipertimbangkan, namun seiring analisis lebih mendalam, tampaknya pertanyaan ini mungkin tidak sepenuhnya relevan.

Sejauh yang dapat kita tangkap, pandangan ini tampak lebih bersifat jangka pendek. Dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam berbagai topik yang ada, model bahasa besar (LLM) sering kali mengalami kesulitan dalam menghasilkan konten yang sesuai dengan standar “kualitas tinggi”. Standar ini mencakup akurasi fakta dan memenuhi kriteria E-E-A-T yang ditegakkan oleh Google, bahkan dengan keleluasaan akses ke internet guna mengakses informasi yang ada di luar jangkauan data latihannya.

Meskipun telah terjadi kemajuan signifikan dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan, terutama dalam menghasilkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya dianggap sulit, namun perlu diingat bahwa tujuan dan visi Google dalam Pengalaman Generatif Pencarian (SGE) mungkin saja mengalami perubahan.

Dalam rentang waktu yang akan datang, bisa jadi fokus akan kembali ditempatkan pada konten yang disusun dengan jeli oleh para ahli yang memiliki pengetahuan mendalam. Sistem Pengetahuan Google berperan dalam memberikan jawaban yang holistik dan komprehensif, yang melampaui sekadar mengarahkan pengguna ke situs-situs kecil.

Pentingnya mengenali kemungkinan pergeseran dalam pendekatan ini memberikan catatan penting bagi pengembangan konten yang lebih terarah dan informatif dalam rangka menyajikan informasi yang berkualitas bagi pengguna secara keseluruhan.

Sekarang kita bisa sedikit memahami bagaimana mesin pencari dan AI bekerja bersama, serta kerumitan yang terlibat dalam mendeteksi konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan. Seperti yang diungkapkan, kendati AI memberikan kontribusi signifikan dalam merespons permintaan pengguna, pertanyaan seputar keandalan dan nilai tambahnya masih menggantung. Masalah serius tentang akurasi dan kekonsistenan dalam menghasilkan konten yang berkualitas dan sesuai dengan pedoman Google sangat patut diperhatikan, terutama dalam topik yang berpotensi memengaruhi keuangan dan kehidupan.

Menggali lebih dalam tentang cara mesin pencari dan konten AI berkolaborasi di masa depan akan menjadi perjalanan menarik untuk menghadapi tantangan ini. Eniwei, saya juga masih sering bikin konten dengan AI. Tapi tidak lagi “tanpa diawasi”. Jadi ini semacam semi-manual, bukan lagi automatic 😀

Jimmy Ahyari
Jimmy Ahyari
Seorang Apoteker yang menyukai dunia internet dan SEO. Mulai ngeblog sejak 2008. -Berbagi Tidak Pernah Rugi-

Tulisan ini dipublish pertama kali pada: 

Beri Tanggaaapan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. Silahkan hubungi kami!

spot_img
Mau Punya Blog Tanpa Ribet?

Gunakan jasa kami! Akan kami buatkan blog yang SEO Friendly, cepat dan diajarin sampai bisa posting sendiri!

Baca yang lain?

Membongkar Mitos SEO dengan Jawaban Langsung dari Danny Sullivan

Ahyari.Net - Sumber informasi "utama" bagi para praktisi SEO mungkin akan bermuara di @dannysullivan dan @searchliaison. Baru-baru ini menggelar sesi tanya jawab yang membahas sejumlah isu krusial terkait Google Search. Berikut adalah poin-poin menarik dari diskusi tersebut. 1. Mitos seputar...

Tahun Depan Google Adsense Tidak PPC Lagi, tapi CPM! Apa Artinya?

Ahyari.Net - Dini hari tadi, sekitar 14 jam yang lalu atau tepatnya pukul 03:28, saya mendapatkan email dengan subjek "Evolving how publishers monetize with AdSense" yang isinya kurang lebih:Google AdSense akan merubah cara mereka membayar publisher (penerbit). Mereka akan...

Apa yang Terjadi di Dunia SEO? Rangkuman Pembaruan Terbaru Google Search (Oktober 2023)

Ahyari.Net - Pada episode Oktober Google Search News, John Mueller kembali dengan berita terbaru tentang dunia SEO. Dalam video ini, dia membagikan informasi tentang sejumlah pembaruan penting yang terjadi dalam ekosistem Google Search pada bulan Oktober 2023.Mari kita lihat...
Join Member!

Akses ke artikel premium dan konsultasikan permasalahan website/blog Anda via Whatsapp langsung!